Saturday, June 16, 2007

PULANG (kolom)



Sewaktu pulang untuk menengok dan sowan ke tempat ibu saya di Cirebon Mei kemarin, berarti sudah lebih dari 5 bulan saya tak pulang, nampak betul ada yang berubah di rumah ibu. Dari depan saja sudah nampak perubahannya. Sudah jelas rumah ibu baru saja selesai diperluas dan didandani. Diperluas tidaklah tepat benar karena luas tanah rumah tidaklah berubah, yang berubah adanya penambahan ruang di dalam rumah yang otomatis memangkas lahan kosong yang dulu ada.

Saya Tiba di rumah ibu sekitar pukul satu lebih, setelah sungkem dan mandi, dengan ditemani Yuk Diah, ibu dan Kiki keponakan saya kami pun makan bersama. Yuk Diah adalah kakak saya yang pertama, namanya Diah tapi sebagai seorang Jawa Cirebon saya biasa memanggilnya dengan sebutan yuk di awal nama, wujud penghormatan kepada yang tertua. Dan kiki adalah anaknya yang pertama, tahun ini ia akan mulai masuk SMP. Nampaknya ibu cukup mempersiapkan kepulangan saya kali ini, karena di meja makan sudah tersanding nasi dan lauk pauknya yang komplit, ada acar ikan gurameh, mendoan tempe, kerupuk sampai lalapan dengan sambelnya yang nyamleng banget. Semuanya lauk kesukaan saya.

"Lho kok malah bengong, lauknya gak enak?"
"Engga, cuma masih kaget dengan perubahan rumah ini"
"kenapa?, heran?, wong ibu cuma nambah satu kamar sama luasin ruang keluarga saja kok, halaman dan pager depan emang ibu ganti dan perbaiki biar tidak keliatan usang"
"iya, tapi kenapa gak bilang biar saya ikut ngurun dana, trus kenapa mesti nambah kamar segala, toh ibu juga di rumah cuma ditemani mbok Ijah. Yuk diah sudah nyaman dengan rumahnya sendiri disebelah, mas dan yayuk yang lain juga sudah pada kerasan dengan rumah mereka sendiri, nanti ibu jadi repot ngurus rumah yang tambah lega ini"
"lha itu yang kamu sama kakak-kakakmu lupa, masalah dana ibu gak masalah tapi kamu coba pikir, apa iya kalo kalian sudah pada keluar rumah, menikah dan punya kehidupan sendiri sudah ngga mau kumpul dan kembali ke sini lagi. Kalau kalian sudah pada menikah, apa iya keluarga semakin kecil, tidak toh, keluarga semakin besar, ibu punya besan, kamu punya mertua, belum lagi kalau kalian sudah pada punya anak, tambah berapa lagi anggota keluarga ini, lha trus nanti kalau semua pada datang kumpul disini, mau pada ditaruh dimana kalian semua?".

Saya kaget dan tersenyum getir. Benar kata ibu, sebagai anak kami mungkin sudah dianggap mengabaikan rumah ini dan terlebih ibu. Setelah ayah meninggal 2 tahun yang lalu, ibu memang hanya tinggal bersama mbok Ijah, orang yang sudah hampir 5 tahun ikut membantu di keluarga kami. Memang rumah yuk Diah berada tepat disebelah kiri rumah ibu, tapi rumah itu terpisah, hanya halaman depan dan belakangnya saja yang terhubung langsung dengan rumah ibu. Mungkin ibu merasa anak-anaknya mulai jarang menengoknya. Ibu juga benar mengenai keluarga yang semakin besar. Setelah anak-anaknya menikah anggota keluarga pasti bertambah, baik itu keluarga yang tidak langsung pertalian darah, karena bertambah dari hubungan pernikahan atau juga cucu yang hadir dari hubungan pernikahan itu. Ini yang harus saya pahami, bagaimana menghormati dan menghargai ibu, tanggung jawab untuk mengurusinya serta memelihara ikatan keluarga dari makin meluasnya cabang pohon keluarga kami.

Saya terdiam tapi perkataan ibu begitu menyentuh. Saya bangkit, memeluknya dan mencium kepalanya. Sepertinya ada yang basah di mata saya.

“Sudah, sudah…, trus kapan kamu nikah?siapa calonmu itu? Kok ya gak pernah dikenalkan ke ibu”
“ya nanti bu kalau sudah ada, pasti saya kenalkan ke ibu dan keluarga semuanya”

Makan siang itu akhirnya diakhiri dengan obrolan yang manis dan pedasnya sambel lalapan.

Tiga hari di rumah ibu tidak banyak yang saya lakukan selain membantu membereskan rumah dari sisa-sisa bahan bangunan yang masih berserakan, kemudian tidak lupa untuk jiarah ke makam ayah, dan sowan ke kakak-kakak dan om, adik ayah yang masih hidup. Akhirnya tiba juga untuk pulang ke Bekasi, tempat saya mencari penafkahan untuk hidup. Kali ini ibu melepas keberangkatan saya pun dengan cara yang biasa, tapi pelukannya terasa begitu dalam, mungkin dalam benak ibu, anak bungsunya ini akan kembali menunaikan tanggungjawabnya untuk hidup, jauh dari keluarga. Lalu saya berfikir, kapan kiranya saya bisa menunaikan tanggungjwab saya secara penuh untuk menjaga dan merawat ibu, akh mungkin setelah menikah nanti dan ibu juga telah sepenuhnya pensiun dari tugasnya mengajar itulah waktu yang tepat untuk mengajaknya tinggal bersama.

Jarak Cirebon Bekasi tidak jauh, bisa ditempuh hanya dengan 4 jam perjalanan menggunakan bus umum, tapi kali ini, jarak itu menjadi berat untuk ditempuh.

Tiba di rumah kontrakan, selepas membuka pintu depan saya kembali diam dan termenung, saya pandangi tiga petak bagian rumah yang semuanya masih berstatus kontrakan. Dalam benak saya apa iya ibu mau ikut di rumah petak kecil yang masih berstatus kontrakan ini. Nampaknya akan ada banyak perencanaan untuk tahun-tahun ke depan. Akh… manusia, hidup dan ruang waktu, semuanya sinergi yang saling memiliki keterikatan.