Tuesday, March 25, 2008

Pewayangan (Wayang Purwa)

Wayang Purwa:











Dewabrata. Sebenarnya dia adalah pewaris kerajaan Astinapura. Akan tetapi ia melepaskan haknya sebagai pewaris takhta agar ayahnya, Prabu Santanu, dapat menikah kembali dan menyerahkan tahta Astinapura ke anak yang diperoleh ayahnya dari istrinya yang baru. Ia mewujudkan janjinya dengan bersumpah tidak akan menikah, sehingga ia tidak memiliki keturunan. Oleh karena itulah dia dikenal dengan nama Bisma Dewabrata. Ia diberikan kesaktian oleh para dewata untuk boleh menentukan sendiri kapan waktu kematiannya. Akan tetapi, Dewabrata secara tidak sengaja membunuh Dewi Amba, seorang wanita yang mencintainya untuk menjaga sumpahnya. Bisma terkena kutukan Dewi Amba, bahwa ia akan terbunuh oleh titisannya. Ketika cucu-cucu Dewabrata, Kurawa dan Pandawa, berperang di Baratayudha, ia memutuskan untuk berperang membela Astinapura melawan para Pandawa. Dalam satu pertempuran, ia bertemu dengan Srikandi (titisan Dewi Amba) di medan perang dan takluk oleh serangan panah Srikandi. Sekali lagi, berkat kesaktiannya, ia tidak meninggal namun jatuh terlentang di atas kasur panah Sarpatala. Ia meninggal setelah menyaksikan akhir dari perang Baratayudha.
Dorna. Ahli panah yang berasal dari negeri Atasangin dan bermaksud menengok sodara angkatnya, Sucitra, yg konon menikahi Gandawati dari negeri Kampilya di Jawa yang terletak di seberang lautan. Ia kemudian bersumpah barang siapa yg dapat menyeberangkannya ke Jawa akan diangkat menjadi saudara bila cowok & akan diperistri bila cewek. Kemudian muncullah kuda terbang entah dari mana yang menerbangkannya ke Jawa. Di atas punggung kuda itu Dorna tertidur & dalam tidurnya ia bermimpi bertemu wanita cantik, yaitu Tilottama. Dalam mimpi itu ia tergoda oleh Tilottama sehingga spermanya jatuh ke lautan berupa buih yg kemudian diminum oleh kuda terbang tsb. Sesampainya di Jawa, kuda terbang tersebut melahirkan bayi manusia sebelum berubah kembali ke wujudnya semula dan kembali ke kahyangan. Bayi tersebut diserahkan kepada Dorna dan dipesannya untuk menjaganya dengan baik, sebab kematian putra mereka berarti kematian bagi Dorna. Ia direkrut oleh Kurawa sebagai guru mereka setelah dipermalukan Sucitra. Ia membela Kurawa sebagai tanda terima kasihnya dengan melawan Pandawa–murid-muridnya juga–di perang Baratayudha. Kesaktiannya mengkhawatirkan Kresna sehingga ia harus ditipu oleh Kresna dan Yudistira dengan memberikan kabar bahwa anaknya (Aswatama) telah tewas. Dorna yang tidak lagi bersemangat segera tertunduk lesu dan kesempatan itu dimanfaatkan Drestajumena, salah seorang perwira Pandawa, untuk memenggal kepala Dorna.
Kresna. Titisan betara wisnu, dewata yang dinilai sangat sakti dan bijaksana. Betara wisnu hanya menitis ke dunia ketika terjadi huru-hara besar yang memerlukan campur tangannya dalam menyelesaikan masalah di dunia. Adipati Kresna adalah raja Dwaraka yang memiliki senjata sakti Cakrabirawa dan, sebagai titisan Wisnu, sanggup melakukan tiwikrama–berubah menjadi raksasa besar ketika amarahnya meledak. Tokoh ini dikenal sebagai penasihat utama Pandawa dan ahli strategi perang. Sebelum perang Baratayudha pecah, ia hadir dalam sidang para Dewata yang memintanya untuk tidak ikut berperang. Tidak dijelaskan apa yang menyebabkan para dewata meminta Kresna untuk tidak ikut berperang, akan tetapi Kresna menyetujui keinginan para Dewata asalkan ia diperbolehkan melihat isi kitab Jitapsara yang menceritakan alur perang Baratayudha. Ia melihat kakaknya, Baladewa bertarung dengan Antareja–putra Bima, Adipati Karna dari Awangga dengan senjata tombak Konta (Wijayandanu) yang bahkan sulit dikalahkan oleh para dewata bertarung dengan Arjuna, serta alur perang yang tidak berkesudahan. Ia kemudian menipu kakaknya, Baladewa, agar bertapa untuk tidak terlibat dalam perang Baratayudha, menyerahkan tumbal kepada para Dewata–anak-anak para Pandawa sendiri– agar Pandawa dapat memenangkan perang, dan menjadi ahli strategi perang para Pandawa. Ia maju sebagai utusan Pandawa ke Hastina meminta para Kurawa mengembalikan Amarta ke Pandawa. Ketika usulannya ditolak dan dilecehkan Kurawa, ia tiwikrama sehingga para Kurawa melarikan diri dari tendanya. Ia pula yang mengatur strategi agar Gatotkaca bertarung melawan Adipati Karna hingga ia terbunuh oleh senjata Konta (Wijayandanu) di medan perang. Arjuna yang ia siapkan sebagai panglima perang Pandawa selalu lolos dari ancaman maut sehingga dapat mengalahkan lawan-lawannya di medan perang. Ia yang memerintahkan Bima membunuh gajah Aswatama dan mengajak Yudistira untuk berbohong bahwa Aswatama (putra Dorna) telah wafat guna mengalahkan Dorna. Akan tetapi, sekalipun ia berhasil membuktikan dirinya sebagai ahli strategi perang, keluarga dan kerajaannya tidak dapat ia selamatkan. Kedua anaknya, Samba dan Boma, saling memusuhi. Ketika Boma berhasil membunuh Samba, Kresna menghabisi Boma dengan senjata cakra. Kerajaan Dwaraka juga akhirnya musnah ditelan gelombang laut (tsunami?) tidak lama setelah Kresna wafat. Konon kerajaan tersebut didirikan oleh para dewata hanya untuk Adipati Kresna.
Baladewa. Raja Mandura, putra tertua raja Basudewa, kakak dari Kresna dan Subadra. Adik dari Basudewa adalah Kunti, ibu dari Karna, Yudistira, Arjuna, dan Bima. Ia memiliki kulit putih dan bertubuh besar dengan senjata Nenggala, yang hanya dapat dikalahkan oleh Cakra milik Kresna. Konon Baladewa adalah keturunan naga karena memiliki senjata tersebut sejak lahir, sebagaimana Kresna memiliki cakra sebagai titisan wisnu. Ia ditipu oleh Kresna agar pergi bertapa ketika perang Baratayudha akan dimulai, supaya ia tidak bertarung dengan Antareja atau menjadi pengganjal kemenangan para Pandawa mengingat Kresna telah mengikat janji dengan dewata untuk tidak terjun di medan perang. Ia turun dari pertapaan ketika perang sudah usai dan menjadi wasit pertarungan antara Bima dengan Duryudana. Ketika Baladewa meninggal, sosok naga keluar dari tubuhnya dan terbang ke arah laut.

pandawa dan adipati/senopati serta sekutunya

Yudistira. Dikenal juga dengan nama Darmawangsa, Darmakusuma, Kantakapura, Gunatalikrama, Puntadewa, dan Samiaji. Yudistira dianggap sebagai keturunan Dewa Keadilan, Batara Dharma. Ia adalah tipe murni seorang Raja yang baik. Darah putih mengaliri nadinya. Ia tidak pernah murka, tidak pernah bertarung, tidak pernah juga menolak permintaan siapa pun, betapapun rendahnya sang peminta. Waktunya dilewatkan untuk meditasi dan penghimpunan kebijakan. Senjata pusaka Yudistira adalah Kalimasada yang misterius, naskah keramat yang memuat rahasia agama dan semesta. Dia adalah cendekiawan yang memerintah dengan keadilan dan kemurahan hati. Ia konon tidak memakai perhiasan, kepala selalu merunduk sebagai tanda mawas diri, dan raut muka bangsawan yang halus. Kelemahan Yudistira adalah judi. Kelemahannya ini telah mengakibatkan dirinya dan adik-adiknya tertipu dan dikalahkan dalam adu judi oleh Duryudana, Raja Hastina. Yusdistira (dan Pandawa keseluruhannya) terpaksa menyerahkan negaranya dan membuang diri ke hutan selama 13 tahun. Sewaktu perang Baratayudha, ia berada di kereta perang bersama Kresna menemui Dorna. Bima yang telah membunuh gajah Hastathama meneriakan suara Aswatama sehingga Dorna mengira anaknya (Aswatama) telah mati. Agar strateginya berhasil, Kresna membawa Yudistira ke medan perang dan memintanya mengatakan bahwa Aswatama yang tewas oleh Bima. Akibat perbuatannya ini Yudistira mendapat hukuman. Kereta perangnya yang semula dikaruniai kemampuan melayang sejengkal di atas tanah, kini terpaksa harus turun menginjak tanah. Selain itu, ia adalah satu-satunya kstaria yang berhasil membunuh prabu Salya dari Mandaraka. Salya adalah ksatria tanpa tanding dengan kesaktiannya aji Candrabirawa. Candrabirawa adalah raksasa yang menetap di dalam tubuh Salya, dapat dikeluarkan dan diperintah sesuka pemiliknya. Tidak ada yang dapat membunuh Candrabirawa kecuali pemiliknya mati. Oleh karenanya Kresna membawa Yudistira untuk bertarung dengan Salya. Salya sebenarnya enggan berperang dengan Yudistira karena ia tahu Yudistira adalah titisan Batara Dharma. Semua anak panah Salya tidak ada yang sanggup mengenai Yudistira. Ia kemudian menantang Yudistira untuk menyerangnya. Satu anak panah Yudistira yang diarahkan ke tanah memantul ke arah Salya dan menembus jantungnya. Yudistira menikahi Drupadi dan mempunyai satu putra bernama Pancawala yang tewas oleh Aswatama yang membalas dendam kematian Dorna.
Bima. Nama lainnya adalah Bratasena, Senoaji, atau Werkodara. Ia dikenal sebagai Pandawa yang bertubuh tinggi besar, memiliki kuku sakti Pancanaka dan dalam beberapa ilustrasi pewayangan mengenakan kalung ular dan bersenjatakan gada Rujakpala. Sewaktu kecil, kulit Bima terbungkus sejenis “membran” sehingga menimbulkan hawa panas yang mengganggu para makhluk halus di hutan Mandalara, tempat main Bima kecil. Oleh karenanya Batara Guru kemudian mengutus Betari Durga untuk melengkapi Bima dengan kain poleng bang bintulu, kelatbahu, gelang candrakirana, kalung nagabanda, dan pupuk jarot asem. Setelah Betari Durga memasang semua kelengkapan tersebut, Gajah Sena turun diutus oleh Betara Guru untuk memecah “membran” yang membungkus kulit Bima. Gajah Sena adalah putra Gajah Erwata yang mencari kesempurnaan di Kahyangan. Gajah Sena berhasil membuka kulit tersebut, namun ia tewas oleh Bima dan tubuhnya menyatu ke dalam Bima. Begawan Sapwani kemudian mengambil sisa “membran” Bima dan memantrainya sehingga menjadi seorang ksatria bernama Jayadrata. Sewaktu remaja ia pernah dibuat mabuk oleh Kurawa dan dibuang ke sumur Jalatunda yang penuh ular. Ia diselamatkan Begawan Badawanganala yang memberinya kesaktian anti racun. Sewaktu para Pandawa diajak pesta mabuk oleh Kurawa, hanya Bima yang tidak mabuk. Ketika kurawa membakar tempat peristirahatan pandawa, maka Bima seorang diri mengangkat keempat saudaranya dan ibunya menyelematkan diri ke sebuah terowongan yang menuju ke kayangan Saptapertala. Ia kemudian menikah dengan putri Sang Hyang Antaboga (penguasa dunia bawah tanah), Dewi Nagagini, dan memiliki anak Antareja. Sewaktu kembali ke Astina rombongan Pandawa melalui hutan Pringgandani kekuasaan raja Arimba. Arimba meminta Bima menikah dengan adiknya agar mereka boleh melalui hutan ini, namun Bima melecehkan Arimba. Mereka bertarung sehingga Arimba tewas. Dewi Kunti, ibu para Pandawa, kemudian memantrai Arimbi, adik Arimba, agar menjadi cantik dan menikah dengan Bima. Bima kemudian memiliki putra bernama Gatotkaca. Bima kemudian disuruh Dorna mencari air suci tirta perwitasari di tengah samudra. Ia di tengah laut diselamatkan oleh Dewa Rutji yang memberinya pengetahuan dan kebijaksanaan mengenai air kesucian yang mengalir di dalam hati (perwitasari). Ia kemudian menikah dengan Dewi Urang Ayu, putri Batara Baruna, dan memiliki anak Antasena. Selama perang Baratayudha, Bima dan Arjuna diandalkan oleh Kresna untuk berhadapan dengan guru-guru mereka, Dewabrata dan Dorna, karena para perwira Pandawa banyak yang gugur di tangan mereka berdua. Bima banyak menewaskan Kurawa di medan perang, termasuk menghirup darah Dursasana dan mengalahkan Duryudana di perang terakhir antara Pandawa dengan Kurawa.
Arjuna. Ia dikenal sebagai anggota Pandawa yang rupawan dan sakti mandraguna. Ia juga dikenal dengan nama Janaka, Dananjaya, Indraputra, dan Indrasuta. Ia dikenal sebagai kstaria yang memiliki segudang pusaka dan wanita. Ia memakai kain limar ketanggi, memiliki panah Pasopati pemberian Betara Guru, panah Ardadedali dari Betara Kuwera, panah Cundamanik dari Betara Narada, panah Sangkali, Candranila, Sirsha, Kiai Sarothama, dan Naracabala, busur Gandiwa pemberian Betara Indra, terompet perang Devadatta yang dapat menghancurkan moral pasukan musuh, keris Kalanadah yang ia berikan ke Gatotkaca, cincin mustika ampal yang diambil dari lawannya Ekalaya, Keris Kiai Baruna, Keris Pulanggeni yang diberikan ke Abimanyu, dan sejumlah pusaka lain yang menempel di tubuhnya. Ia memiliki dua ekor kuda sakti yang diberikan dewata yakni Argapuspa dan Puspagati. Arjuna menikah dengan Sumbadra dan memiliki anak Abimanyu yang sangat ia sayangi. Arjuna menikah dengan Larasati dan memiliki anak Sumitra dan Bratalaras. Ia menikah dengan Srikandi namun tidak memiliki anak karena Srikandi tewas oleh Aswatama. Ia menikah dengan Palupi dan memiliki anak Bambang Irawan. Ia menikah dengan Jimambang dan memiliki anak Kumaladewa dan Kumalasakti. Ia menikah dengan Ratri dan memiliki anak Bambang Wijanarko. Ia menikah dengan Dresnala dan memiliki anak Wisanggeni. Ia menikah dengan Wilutama dan memiliki anak Wilugangga. Ia menikah dengan Manuhara dan memiliki anak Pergiwa dan Pergiwati. Ia menikah dengan Supraba dan memiliki anak Prabakusuma. Ia menikah dengan Antakawulan dan memiliki anak Antakadewa. Ia menikah dengan Juwitaningrat dan memiliki anak Bambang Sumbada. Ia juga menikah dengan beberapa wanita lain namun tidak memiliki anak. Arjuna mengalahkan raksasa Niwatakawaca yang ingin menguasai Kahyangan untuk memperoleh berbagai pusaka tersebut di atas dan menikah dengan 7 bidadari kahyangan. Arjuna berguru dengan banyak resi dan belajar banyak ajian sakti namun ia sangat patuh kepada Yudistira dan Kresna. Selama perang Baratayudha ia dijaga oleh Kresna agar tidak bertemu dengan Karna selama ia memegang pusaka Konta (Wijayandanu). Arjuna selalu ditempatkan sebagai panglima di tengah prajurit sehingga tidak terlihat menonjol seperti Bima dan Gatotkaca yang berada di garis depan. Akan tetapi ia dan Bima berperan penting untuk menghadapi Bisma dan Dorna selama peperangan agar mereka tidak membunuh lebih banyak para perwira Pandawa. Ia akhirnya membunuh Karna dengan Pasopati setelah senjata Konta dipakai untuk melawan Gatotkaca.
Nakula dan Sadewa. Keduanya adalah putra kembar dari Madrim, istri kedua Pandu. Sadewa dikenal memahami Astronomi dan memahami masalah taktik logistik peperangan karena memiliki pengetahuan tentang peternakan. Nakula memiliki ajian Pranawajati yang membuatnya dapat mengingat peristiwa dan pelajaran yang diberikan. Menjelang perang Baratayudha Kresna menyuruh Nakula dan Sadewa untuk mengunjungi pamannya, Salya, guna mengetahui rahasia kelemahan aji Candrabirawa. Mereka berdua membawa belati yang diserahkan ke Salya, dan meminta Salya membunuh mereka saat itu juga karena dalam peperangan Baratayudha tidak akan ada yang dapat mengalahkan Candrabirawa. Salya yang terharu kemudian memberitahukan bahwa ia hanya dapat dibunuh oleh Yudistira yang memiliki darah putih bangsawan dan titisan Betara Dharma. Nakula kemudian menjadi raja Mandaraka menggantikan pamannya Salya setelah perang Baratayudha usai, sedangkan Sadewa menjadi patih di Hastina membantu Yudistira.
Adapun para Adipati/Senopati yang membantu para Pandawa di medan perang adalah:
Seta, Utara, dan Wratsangka. Ketiganya adalah satria dari Wirata. Sewaktu Pandawa dalam pengasingan, mereka bersembunyi dan bekerja di Wirata. Penyamaran mereka terbuka setelah para Pandawa membantu Wirata berperang melawan Hastina sebelum Bharatayudha. Selain itu, adik mereka yakni Dewi Utari dijodohkan dengan Abimanyu, anak Arjuna, untuk mempererat ikatan kekerabatan Wirata dengan Pandawa. Pada peperangan di Bharatayudha, Wratsangka tewas oleh Salya dalam adu kesaktian, sedangkan Utara tewas oleh Dorna dalam adu panah. Seta merupakan satria yang kesaktiannya sangat tinggi sehingga panah-panah Bisma Dewabrata dapat ditangkap dengan mudah. Bisma bahkan sempat bertapa untuk mengetahui kelemahan Seta. Bisma kemudian melumuri panahnya dengan campuran jahe/kunyit sehingga panahnya tidak dapat ditangkap oleh Seta dan menembus jantungnya.
Drupada dan Drestajumena. Drupada sebenarnya kakak Dorna yang bernama Sucitra. Ia marah kepada Dorna yang dinilainya tidak tahu tata krama sehingga mengusirnya dari negerinya. Ia memiliki putri Drupadi yang dinikahi oleh Yudistira dan putra Destrajumena. Perang Bharatayudha mempertemukannya kembali dengan Dorna. Ia kalah dalam peperangan melawan Dorna. Drestajumena kemudian berperang melawan Dorna. Ketika Drestajumena sudah terpojok, Dorna mendengar suara-suara Aswatama sudah meninggal. Ketika ia bertanya kepada Yudisthira mengenai berita tersebut, pertanyaannya dibenarkan sehingga ia kehilangan semangat berperang. Drestajumena tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut dengan memenggal kepala Dorna. Drestajumena di akhir perang Bharatayudha dibunuh oleh Aswatama yang dendam akan kematian ayahnya Dorna.
Setiyaki. Ia adalah patih Sri Kresna di kerajaan Dwaraka. Sebagai panengah, Kresna menawarkan kepada Duryodana apakah memilih prajurit Dwaraka atau dirinya yang tanpa senjata karena ia tidak akan ikut berperang di Bharatayudha. Duryodana memilih prajurit Dwaraka dan Mandura (Baladewa) yang tidak ada pemimpinnya, sehingga Setyaki memilih ikut Kresna ke Pandawa. Ia bersama Gatotkaca menggagalkan pemberontakan anak Kresna bernama Boma Narakasura yang terpengaruh bujukan Sangkuni. Dalam peperangan Bharatayudha ia berhadapan dengan Burisrawa, putra Salya. Kesaktiannya ternyata tidak sebanding dengan Burisrawa. Kresna segera mengambil panah Setyaki dari tendanya dan mengajak Arjuna ke tempat tinggi. Arjuna yang baru kehilangan Abimanyu kehilangan semangat bertempur, sehingga Kresna “menguji” dia dengan memberikan panah orang lain ke Arjuna dan menyuruhnya membidik sehelai rambut yang dipegang oleh Kresna. Tantangan tersebut tentu saja disanggupi oleh Arjuna. Panah Setyaki melesat dari busurnya dan mengenai rambut yang dipegang Kresna. Akan tetapi anak panah tersebut melesat turun gunung menuju ke pemiliknya yang sedang terpojok oleh Burisrawa. Segera saja panah tersebut menembus Burisrawa dan menyelamatkan Setyaki. Sangkuni yang protes ke dewata, dimentahkan oleh Batara Nerada yang mengajukan bukti bahwa senjata yang membunuh Burisrawa adalah panah Setyaki.

kurawa dan para sekutunya


Duryodana. Konon Kurawa awalnya dilahirkan dalam bentuk seonggok daging besar. Berkat keajaiban para dewata, maka daging tersebut pecah ke dalam seratus potongan dan potongan terbesar membentuk Duryudana. Potongan terbesar kedua membentuk Dursasana, sedangkan potongan terkecil membentuk satu-satunya kurawa wanita Dursilawati. Duryodana konon sewaktu kecil dimandikan dengan air sakti sehingga tidak dapat luka bila terkena pukulan sekeras apapun. Akan tetapi, siraman air sakti tersebut tidak sempurna karena paha kirinya tertutup daun jati, sehingga menjadi titik lemahnya. Rahasia ini diketahui Kresna, sehingga ketika terjadi peperangan antara Bima dan Duryudana, ia menyuruh Arjuna mendekat ke medan laga dan menepuk paha kirinya sebagai sinyal ke Bima bahwa kelemahan Duryodana adalah paha kirinya. Ia dikenal sebagai pemimpin yang ragu dan mudah terkena hasutan. Ketika Bisma dan Dorna menasehatinya untuk mengembalikan Amarta ke Pandawa, ia justru termakan hasutan Sangkuni untuk menolak permintaan Pandawa sehingga memicu perang Barathayuda. Ia memiliki anak Lesmana mandrakusuma yang tewas dalam perang Bharatayudha.
Dursasana. Ia adalah salah seorang Kurawa yang cukup terkenal. Badannya gagah, mulutnya lebar dan mempunyai sifat sombong, suka bertindak sewenang-wenang, menggoda wanita dan senang menghina orang lain. Ia mempunyai seorang istri bernama Dewi Saltani, dan berputra satu orang yakni Dursala. Ia berkediaman di wilayah Banjarjungut, peninggalan mertuanya. Ia tewas mengerikan dalam perang Bharatayudha karena darahnya dihirup oleh Bima dan ditampung ke dalam helm tentara untuk keramas rambut Drupadi.
Selanjutnya ada Abaswa, Adityaketu, Alobha, Anadhresya, Anudhara, Anuradha, Anuwinda, Aparajita, Aswaketu, Bahwasi, Balawardana, Bhagadatta, Bhima, Bhimabala, Bhimadewa, Bhimaratha, Carucitra, Citradharma, Citrakala, Citraksa, Citrakunda, Citralaksya, Citrangga, Citrasanda, Citrasraya, Citrawarman, Dharpasandha, Dhreksetra, Dirgaroma, Dirghabahu, Dirghacitra, Dredhahasta, Dredhawarman, Dredhayuda, Dretapara, Duhpradharsana, Duhsa, Duhsah, Durbalaki, Durbharata, Durdharsa, Durmada, Durmarsana, Durmukha, Durwimocana, Duskarna, Dusparajaya, Duspramana,
Dursilawati. Satu-satunya kurawa wanita yang terbentuk dari bagian daging terkecil. Ia merupakan istri Jayadrata yang dijodohkan oleh Sangkuni untuk menarik Jayadrata ke pihak Kurawa. Dursilawati dikenal sebagai penggoda dan pernah mendekati Arjuna walaupun gagal.
Selanjutnya ada Hayabahu, Jalasandha, Jarasanda, Jayawikata, Kanakadhwaja, Kanakayu, Kawacin, Krathana, Kundabhedi, Kundadhara, Mahabahu, Mahacitra, Nandaka, Pandikunda, Prabhata, Pramathi, Rodrakarma, Sala, Sama, Satwa, Satyasanda, Senani, Sokarti, Subahu, Sudatra, Suddha, Sugrama, Suhasta, Sukasananda, Sulokacitra, Surasakti, Tandasraya, Ugra, Ugrasena, Ugrasrayi, Ugrayudha, Upacitra, Upanandaka, Urnanaba, Wedha, Wicitrihatana, Wikala, Wikatanana, Winda, Wirabahu, Wirada, Wisakti, Wiwitsu, dan Wyudoru
Adapun adipati/senopati yang menjadi sekutu Kurawa adalah:
Adipati Karna. Ia adalah anak pertama Dewi Kunti, ibu dari para Pandawa. Sewaktu muda Kunti merawat Resi Duryasa sehingga memperoleh azimat yang dapat memanggil dewa dari kahyangan. Karena Kunti mengarahkan azimat tersebut ke matahari, maka Betara Surya datang sehingga Kunti hamil. Agar keperawanan Kunti tetap terjaga, maka ia melahirkan dari kuping sehingga bayinya disebut Karna. Sejak bayi ia diberikan zirah yang menempel di kulitnya dan dua buah anting di telinganya sebagai pertanda keturunan Betara Surya. Ia kemudian diasuh oleh sais bernama Adhirata hingga dewasa. Ia kemudian mengembara ke Astina dan berguru kepada Dorna, walaupun di kelas yang berbeda dengan Pandawa dan Kurawa. Ketika dewasa ia berhasil menandingi kecakapan yang dimiliki oleh Arjuna dan bahkan menantangnya untuk duel. Akan tetapi tantangan ini ditepis Dorna karena Karna berasal dari kasta rendah. Duryodana yang melihat kemampuan hebat Karna mengangkatnya menjadi Adipati di Awangga, agar mereka dapat melawan Arjuna suatu saat kelak. Menjelang perang Bharatayudha, ia dikunjungi oleh Betara Surya dan diingatkan agar tidak menyerahkan zirah dan anting-anting miliknya kepada Betara Indra kecuali ditukar dengan senjata Konta (Wijayandanu). Ketika pertemuan tersebut terjadi, Betara Indra bersedia menyerahkan senjata Konta (Wijayandanu) dengan catatan bahwa senjata tersebut hanya dapat dipakai sebanyak satu kali saja. Ia kemudian diminta oleh Kresna untuk bergabung dengan Pandawa, namun permintaan tersebut ditolaknya karena ia merasa dilecehkan oleh Pandawa, sedangkan Duryodana tidak membedakan statusnya ketika dia diangkat menjadi Adipati Awangga. Ia juga menolak permintaan ibunya Dewi Kunti agar ia mau bergabung dengan Pandawa dengan janji tahta Hastina ketika peperangan usai. Dewi Kunti kemudian memintanya untuk bersumpah tidak akan membunuh salah satu dari Pandawa. Karna menjawab bahwa anak Dewi Kunti akan tetap lima. Selama peperangan Bharatayudha ia ditolak mendampingi Bisma Dewabrata karena Bisma tahu jika kekuatan Adipati Karna digabung dengannya akan membunuh kelima Pandawa dengan mudah. Ia bersama Jayadrata dan sejumlah kurawa bertanding melawan Abimanyu di medan Kurusetra. Ia mematahkan busur Abimanyu dan melumpuhkan senjata-senjata Abimanyu sebelum disiksa oleh Jayadrata dan para kurawa sampai tewas. Ia terpaksa mengeluarkan senjata Konta (Wijayandanu) untuk melawan Gatotkaca karena ia dan pasukannya direpotkan oleh serangan-serangan Gatotkaca dari udara. Adipati Karna kemudian bertarung melawan Arjuna tanpa senjata Konta (Wijayandanu). Akan tetapi ia menunjukkan bahwa ia adalah kstaria yang unggul strategi dan taktik. Ia menyerang Arjuna dengan melukai badannya. Ternyata serangan tersebut hanyalah trik untuk mengalihkan konsentrasi Kresna dan Arjuna. Ia kemudian menyerang dengan panah ke arah kepala Arjuna, namun gagal karena Kresna segera mengetahui trik tersebut sehingga ia menjejakkan kakinya ke tanah agar kereta yang dinaikinya amblas ke dalam tanah. teknik tersebut menghindarkan serangan panah Karna dari kepala Arjuna. Karna akhirnya tidak dapat menghindar dari serangan Arjuna ketika keretanya terjebak di dalam lumpur.
Jayadrata. Ia diciptakan oleh Begawan Sapwani dari sisa “membran” Bima yang terkelupas setelah bertarung dengan Gajah Sena. Sepintas sosoknya mirip seperti Bima. Ia menikah dengan Dursilawati, kurawa wanita, ketika tengah menuntut ilmu di Astina. Ia memiliki senjata gada Kyai Glinggang yang diwariskan oleh Sapwani. Jayadrata dan Begawan Sapwani dikalahkan oleh Bima dalam perebutan Wahyu Trimanggolo, sebelum perang Bharatayudha, sehingga mereka bersumpah untuk membunuh satu anggota keluarga Pandawa. Ia terjun dalam peperangan karena ikatan keluarga dengan kurawa di Astina. Di sebuah pertempuran, ia dan beberapa kurawa menyiksa Abimanyu hingga tewas, sehingga membangkitkan amarah Arjuna. Ia disembunyikan oleh Dorna dan Karna di garis belakang, namun ketahuan oleh Gatotkaca dari udara. Berkat strategi perang Kresna, Arjuna bertemu Jayadrata di medan perang dan Jayadrata tewas oleh panah Pasopati.
Arya Sengkuni. Sewaktu mudanya ia bernama Trigantalpati. Ia adalah putra kedua Prabu Gandara, raja negara Gandaradesa dengan permaisuri Dewi Gandini. Arya Sengkuni menikah dengan Dewi Sukesti, putri Prabu Keswara raja negara Plasajenar. Ia memperoleh tiga orang putra bernama Arya Antisura, Arya Surabasa, dan Dewi Antiwati yang kemudian diperistri Arya Udawa, patih negara Dwarawati. Arya Sengkuni mempunyai sifat perwatakan tangkas, pandai bicara, buruk hati, dengki, dan licik. Ia bukan saja ahli dalam siasat dan tata pemerintahan serta ketatanegaraan, tetapi juga mahir dalam olah keprajuritan. Arya Sengkuni mempunyai pusaka berwujud Cis (Tombak pendek untuk memerintah gajah) yang dapat menimbulkan air bila ditancapkan ke tanah. Ia ahli strategi di pihak Kurawa. Arya Sengkuni mati dengan sangat menyedihkan di tangan Bima. Tubuhnya dikuliti dan mulutnya disobek. Mayat Sengkuni kemudian dihancurkan dengan gada Rujakpala milik Bima.

Salya. Ia adalah kakak dari Madrim, ibu Nakula dan Sadewa. Ia raja Mandaraka yang sakti mandraguna dengan aji Candrabirawa yang ia peroleh dari Begawan Bagaspati. Sewaktu muda ia dikenal dengan Narasoma dan berguru kepada raksasa bernama Bagaspati. Ia menikahi anak Bagaspati agar memperoleh aji Candrabirawa. Candrabirawa adalah raksasa perusak yang bersemayam di tubuh prabu Salya. Raksasa ini dapat berlipat ganda jumlahnya kalau ia dilukai. Raksasa ini hanya mematuhi perintah Salya seorang. Salya dipesan bahwa satu-satunya orang yang dapat mengalahkan dirinya dan aji Candrabirawa adalah bangsawan berdarah putih titisan Betara Dharma yang memiliki ketulusan hati yang sangat dalam. Sebuah sifat yang bertolak belakang dengan Candrabirawa yang destruktif. Ia menceritakan rahasia ini kepada Nakula dan Sadewa karena ia ingin Pandawa menang perang, walaupun ia terikat hubungan baik dengan Adipati Karna dan Destarata (ayah Duryodana). Dalam perang Bharatayudha ia berhasil menewaskan satria Wratsangka dari Wirata. Ia kemudian bertarung dengan Bima ketika terpaksa melepaskan aji Candrabirawa. Bima dan pasukannya kewalahan menangani Candrabirawa, sehingga Kresna membawa Yudistira maju ke medan perang. Salya yang enggan bertarung dengan Yudistira akhirnya tewas oleh Yudistira ketika panahnya memantul dan menembus jantungnya.
Burisrawa. Ia adalah anak Salya yang sangat sakti. Tubuhnya tinggi besar seperti raksasa namun perilakunya kasar dan tinggi hati. Ia pernah mencoba menculik istri Arjuna, Subadra. Aksinya digagalkan oleh Gatotkaca dan Antareja. Ia merupakan musuh bebuyutan Setyaki sejak kecil. Burisrawa akhirnya tewas ketika tengah bertarung dengan Setyaki. Kresna memanfaatkan panah Setyaki untuk dipakai oleh Arjuna. Arjuna yang tidak sadar dimanfaatkan oleh Kresna melepaskan anak panah tersebut ke medan perang dan membunuh Burisrawa.


*diambil dr berbagai sumber

Sunday, March 23, 2008

Ada Hantu???


Hari sabtu minggu kemarin ketika saya berada di kantor, kebetulan saat itu kami (saya dan rekan kerja yang lain) kedatangan tamu, seorang kawan yang dulu sempat menjadi rekan kerja saya yang datang bersama adik dan anak perempuannya, juga sebuah PC yang ia minta bantuannya kepada kami untuk diservice.

Lama tak bertemu membuat kami lebih banyak ngobrol dan bertukar informasi, sampai kemudian kawan saya ini permisi untuk ikut ke WC. Ketika beranjak berdiri, anak perempuannya yang baru berusia tiga tahun ikut berdiri dan mengejar ayahnya.

"Loh, Naya gak usah ikut ayah, ayah mau ke WC" kata kawan saya.
"Gak mau Naya mau ikut ayah.." jawab putri kawan saya ini
"Loh anak perempuan kan gak boleh masuk ke WC laki-laki, Naya disini aja dulu sama om ya, atau main dulu tuh sama tante" jawab kawan saya lagi, yang dimaksud tante adalah adik perempuan kawan saya.
"Ya udah, tapi ayah jangan lama-lama ya,.. di sana gelap awas ada hantu ya yah.." ujar putrinya lagi.

Putri kawan saya ini memang lucu dan cantik. Usianya baru tiga tahun tapi cerewetnya minta ampun. Sangat aktif dan tidak pemalu. Ia gampang sekali akrab dengan orang-orang yang saat itu ada di ruangan kami. Dan jawaban terakhir pada ayahnya itu membuat saya tergelitik, begitu jenakanya ia menyampaikan pesan "awas ada hantu ya yah...". Pikiran ada hantu itu bisa saja muncul dalam benaknya karena mungkin saat ia berdialog dengan ayahnya, meski berada di depan pintu ruangan kami tapi ia menghadap lorong yang temaram. Kebetulan karena hari ini hari sabtu maka banyak lampu-lampu yang dipadamkan.

Kemudian saya menghampiri putri cantik itu, saya pun menggandengnya, kemudian iseng saja saya bertanya.
"Kok Naya tadi bilang ke ayah awas ada hantu, emang di sini ada hantu?" tanya saya.
"Gak tau" jawabnya singkat
"Emang Naya gak takut sama hantu" tanya saya lagi
"Takut" ujarnya
"Emang Naya udah pernah liat hantu" makin gencar saya bertanya
"Udah" jawabnya
"Dimana?" tanya saya penasaran
"Di tipi" jawabnya lagi
Oalahhhh saya pikir anak ini akan menjawab apa.
"Hantu itu gak ada loh Naya, hantu itu ada karna Naya mikirnya ada, coba kalau Naya mikirnya hantu itu gak ada, pasti gak bakalan ada hantu" saya gak tahu apakah omongan saya ini bisa ia mengerti.
"Ada, orang kata mamah ada, di tipi juga ada" sanggahnya cepat
wah kalau sudah begini saya binggung mau berucap apa, akhirnya saya hanya mengiyakan saja.
"Ya sudah, yang penting Naya gak usah takut ya sama hantu"
Kali ini ia yang diam, tapi kemudian ia berlari begitu melihat ayahnya kembali dari WC.
"Yah ada hantu ya yah...?" ternyata ia langsung bertanya pada ayahnya.
"Loh kok dari tadi ngomongnya hantu melulu, kenapa?"
"Disanakan gelap yah, pasti ada hantunya" ujarnya lagi
"Gak ada, sini ayah tanya,... Naya percaya gak hantu itu ada?"
"Percaya"
"Nah kalo Naya percaya hantu itu ada, hantunya jadi ada, tapi kalau Naya gak percaya sama hantu, hantunya jadi gak ada. Makanya Naya gak usah percaya kalau ada yang bilang hantu itu ada"
"Tapi kan di tipi ada yah..."

"Sudah jangan ngomongin hantu melulu akh,.. sana minta temenin tante maen game. Di komputernya om ada game Dora juga loh" ujar sang ayah mengalihkan pembicaraan.

Saya hanya tersenyum mendengar dialog antara kawan saya ini dan putrinya. Dialog yang lucu, unik, dan menggelitik. Bagaimana pun putrinya ini sudah terkontaminasi juga dengan siaran-siaran yang ada di televisi.

Ketika kawan saya pulang, saya sampaikan saja penilaian saya bahwa putrinya itu sangat cerdas. Ia hanya tersenyum sambil berujar "susah kalau sudah kebanyakan nonton televisi...". Saya hanya tertawa mendengarnya.

Tuesday, March 18, 2008

Memaknai Makna Priyayi


Berasal dari keluarga buruh tani, Soedarsono, oleh orang-tua dan sanak saudaranya diharapkan dapat menjadi "sang pemula" untuk membangun dinasti keluarga priyayi kecil. Berkat dorongan Asisten Wedana Ndoro Seten, ia bisa sekolah dan kemudian menjadi guru desa. Dari sinilah ia memasuki dunia elite birokrasi sebagai priyayi pangreh praja. Ketiga anaknya, melewati zaman Belanda dan zaman Jepang, tumbuh sebagai guru, opsir Peta, dan istri asisten wedana. Cita-cita keluarganya berhasil.

Benarkah? Lalu apakah sesungguhnya ”priyayi” itu? Status kelas? Pandangan dunia kelas menengah elite birokrasi? Sekadar gaya hidup? Atau kesemuanya?. Cucu-cucu Soedarsono sendiri kemudian hidup sebagai anak zaman mereka: menjadi anak kelas menengah birokrat yang manja, idealis kiri yang terlibat gestapu, dan entah apa lagi. Justru Lantip –anak jadah dari keponakan jauh Soedarsono– yang tampil sebagai hero. Dialah yang, dengan caranya sendiri, menunjukkan makna ”priyayi” dan ”kepriyayian” itu.
(Diambil dari sampul belakang novel “Para Priyayi: Sebuah Novel”, karya Umar Kayam)

Awalnya nama Umar Kayam-lah yang membuat saya tertarik untuk membeli novel ini. Umar Kayam, adalah seorang sosiolog, novelis, cerpenis, dan budayawan yang sudah saya kenal kualitasnya. Seperti pada kutipan pada sampul di belakang novel, Umar Kayam bercerita mengenai kehidupan sang tokoh yang menjadi dasar cerita "Soedarsono", seorang anak dari keluarga buruh tani yang oleh keluarganya diharapkan menjadi pemula dalam membangun dinasti priyayi kecil.

Novel ini melewati berbagai macam latar waktu, mulai zaman belanda, jepang, kemerdekaan, gestapu sampai dengan akhir tahun 60-an. Berlatar tempat di daerah jawa seperti Wanagalih (dipinggir kota Ngawi), Solo, Wonogori, Yogya sampai Istana Mangkunegaran. Dalam bercerita, Umar Kayam membagi novel ini menurut tokoh-tokohnya. Dan ini yang unik, karena pembagian bab yang menurut pada tokoh-tokohnya, namun Umar Kayam selalu berada sebagai orang pertama, meski begitu novel ini tetap menjadi bagian yang utuh yang menjadi satu kesatuan cerita. Gaya bahasa yang digunakan juga begitu ringan, simple, sederhana dan sangat mengalir. Ini sangat menunjang gaya bertutur Umar Kayam sebagai orang pertama pada tiap-tipap bab-nya, karenanya sebagai pembaca saya merasa terekrut dalam setiap paparan, cerita dan konflik di dalamnya.

Soedarsono yang berkat dorongan Asisten Wedana Ndoro Seten akhirnya bisa sekolah dan menjadi guru desa. Dari sinilah ia memasuki dunia elite birokrasi sebagai priyayi pangreh praja. Dalam prosesnya ia akhirnya mempunyai tiga orang anak, Noegroho, Hardojo, dan Soemini yang kemudian turun pada generasi kedua, Tomi, Mary, Harimurti, Sumi, beserta Lantip [anak dari keponakan Sastrodarsono yang bernama Soenandar, yang
kemudian menjadi cucu angkat Sastrodarsono].

Pada akhirnya seiring perkembangan jaman anak-anak dan cucu-cucu Soedarsono berjalan mengikuti perkembangan pada jaman mereka sendiri-sendiri, justru Lantip-lah yang akhirnya memberikan makna priyayi itu sendiri. Lewat tokoh Lantip, Umar kayam ingin memberikan makna arti priyayi sesungguhnya. Priyayi bukanlah karena kedudukan dan kekayaannya, karena banyak juga para priyayi (dalam kontek sekarang kita bisa membacanya pejabat/penguasa) yang justru tidak "mriyayeni". Priyayi adalah mengenai sikap, bagaimana bersikap arif, rendah diri, peduli, setia dan mengayomi, sifat itulah yang tercermin dalam diri Lantip.

“Kalau menurut kamu, apa arti kata priyayi itu, Tip?”
“Sesungguhnya saya tidak pernah tahu, Pakde. Kata itu tidak terlalu penting bagi saya.”

(dikutip dari dialog antara Lantip dan Pak Noeg).

Saturday, March 15, 2008

Polisi Satu Beda Dengan Polisi Lainnya


Saya ingat ketika suatu hari, di sebuah kelokan jalan setelah rel dan pintu perlintasan kereta api dekat stasiun Bekasi secara tiba-tiba saja seorang polisi berdiri di tengah jalan dan menghalangi laju motor saya. Benar saja, saya segera diminta merapat dan berhenti. Dalam hati saya menerka-nerka, kiranya apa yang akan menjadi alasan polisi ini menghentikan laju motor saya.

Polisi yang tadi memberhentikan saya akhirnya berjalan mendekati saya, perawakannya sedang dan masih cukup tegap dengan usianya yang saya taksir berkisar 40 tahunan.

"Selamat siang pak bisa lihat SIM dan STNK motornya, mohon maaf neh karena motor bapak platnya luar jakarta jadi saya periksa dulu" polisi itu menyapa saya, kebetulan motor saya memang berplat AB, plat kota Yogyakarta.

"Siang pak, ini SIM saya dan STNK-nya" kata saya sambil menyerahkan SIM dan STNK.

"Oke sudah lengkap pajak juga sudah dibayar, tapi kemana neh spionnya kok cuma kanan saja yang dipasang, malu ya kalo dipasang karena motornya jadi gak gaul lagi, nanti spionnya kayak posisi tangan lagi berdoa??" katanya sambil menyerahkan kembali SIM dan STNK saya.

"Gak usah malu, itu malah baik kalau sampean lupa berdoa sebelum berangkat paling engga motor sampean ini yang sudah berdoa" ujarnya sambil tertawa, "lagi pula itu lebih baik buat keselamatan" tambahnya lagi.

Belum sempat saya mengomentari perkataannya tadi, ia kembali berujar.

"Ya sudah sana jalan, tapi besok harus sudah dipasang spionnya" Saya mengiyakan dan bergegas pergi. Dalam hati saya polisi ini begitu baik dan begitu baiknya kalimat yang disampaikan kepada saya, ditambah lagi ia tidak memperpanjang urusan spion saya ini. Ini sangat kontras dengan pengalaman saya lainnya bersama teman ketika kuliah dulu di Yogyakarta.

Kejadiannya di awal tahun 2003. Dulu ketika masih kuliah, bersama teman saya sempat dikejar dan diberhentikan polisi di sekitaran jalan solo Yogyakarta. Ketika itu kami diberhentikan dengan alasan yang tidak jelas. Alasan pertama yang disampaikan sudah pasti ingin mengecek apakah kami sudah mempunyai SIM dan membawa STNK. Ketika mengetahui kami memiliki kelengkapan surat-surat kendaraan bermotor tersebut, polisi yang memberhentikan kami mulai mempersoalkan kaca spion motor yang kecil dan lampu depan kami yang ditutup kaca film. Singkatnya polisi itu menilang kami dengan dasar aksesoris motor yang tidak standarisasi. Padahal pada saat itu di Yogyakarta sangat menjamur motor-motor yang penuh dengan modifikasi, mulai dari yang hanya merubah tampilan kecil motor (macam motor saya ini) sampai dengan perubahan drastis dari bentuk motor, entah itu bodi motor atau mengganti pelek motor dengan pelek ban sepeda.

Kami berdua tidak mau ditilang, dasarnya jelas karena polisi itu tidak konsisten pada keputusan yang dibebankan kepada kami, lha kok begitu banyak motor yang bersliweran cuma motor kami yang ditindak. Kesalahan dari sikap kami hanyalah memberikan SIM dan STNK pada si polisi sehingga dengan mudahnya ia berdebat alasan dengan kami, mau gimana lagi lha wong STNK sudah di tangan si polisi jadi kami sudah tidak bisa kemana-mana lagi. Polisi itu akhirnya menawarkan harga damai agar kami tidak ditilang berupa setoran uang sebesar 20 ribu rupiah kepadanya sebagai ganti jasa titip sidang, kami hanya tertawa dan mencoba menawar tarifnya. Setelah berdebat lama, inilah yang saya gelikan, polisi itu mau saja terima uang dari kami sebesar 10 ribu. Setelah menerima SIM dan STNK yang telah dikembalikan dari si polisi kami pun segera saja pergi, tancap gas.

Bukannya kami tidak mematuhi hukum atau tidak menurut pada aparat, kami merasa bahwa kami tidak sepenuhnya salah dan polisi itu pun tidak sepenuhnya benar, malah cenderung hanya mencari-cari alasan untuk mendapatkan uang liar dari operasi liar yang ia lakukan. Dalam pikiran saya, polisi yang benar juga tidak akan mau menerima uang sebagai ganti titip sidang dalam kasus tilang menilang, karena pada dasar undang-undang yang memuat peraturan tersebut, denda tersebut selanjutnya akan menjadi milik negara bukan menjadi milik pribadi si polisi.

Sepulang dari perjalanan saya siang itu, sesampainya di rumah saya membuka sebuah bungkusan plastik hitam yang berisi sebuah spion motor sebelah kiri yang sempat saya beli di jalan, kemudian saya pasangkan pada motor saya. Hmm.. benar, sekarang motor saya seperti memiliki sepasang tangan yang sedang menengadah ke atas, layaknya posisi tangan berdoa. Ini mungkin menjadi doa saya juga agar saya selalu diberi keselamatan dalam setiap perjalanan-perjalanan saya.

"Terimakasih pak polisi yang baik, saya sudah penuhi janji saya pada bapak untuk memasang spion motor saya yang sebelah kiri dan yang paling utama adalah ini demi kebaikan saya sendiri, semoga saya selalu selamat dalam perjalanan saya."

Bercerminlah dari Laskar Pelangi


Sebelum membaca buku ini, nama Laskar Pelangi sebenarnya sudah saya ketahui saat berjalan-jalan di toko buku Gramedia. Sebuah buku dengan warna cover dominan merah jingga dan hitam, sangat menarik dan terlebih saat itu Gramedia menempatkan buku ini sebagai newbooks dan best seller. Sempat saya lihat buku ini, membaca beberapa resensi dan pengantarnya serta tidak lupa juga memperhatikan penulisnya, Andrea Hirata..., hmm.. sebuah nama baru buat saya.

Karena sebenarnya tujuan saya ke Gramedia adalah untuk membeli buku yang sudah saya rencanakan jauh sebelum saya terima gajian bulanan, maka buku dalam benak saya tetap menjadi prioritas utama, dan Laskar Pelangi akhirnya menjadi daftar beli buku saya untuk bulan depan. Tapi apa sih yang menarik dari Laskar Pelangi??.

Ketika secara sengaja saya memindahkan channel tv ke MetroTV untuk menonton acara talkshow Kick Andy, dari situlah saya mulai mengenal novel Laskar Pelangi, di tayangan ini sang penulis "Andrea Hirata" hadir sebagai nara sumber. Dari sini juga saya mengetahui bahwa Laskar Pelangi adalah perwujudan dari kenangan masa kecil sang penulis. Begitu menarik, itu kesimpulan saya setelah menonton acara ini, karenanya keesokan hari saya segera mengarahkan sepeda motor saya menuju Gramedia. Di Gramedia, bukan hanya Laskar Pelangi yang saya beli tapi juga Sang Pemimpi (akan saya buatkan menyusul mengenai isinya), buku kedua dari tetralogi Andrea Hirata.

Butuh 2 minggu disela kesibukan saya bekerja untuk menyelesaikan buku ini, entah itu waktu yang cepat ataukah lama, yang jelas buku ini menjadi kawan terbaik menemani tidur malam saya, paling tidak ia tidak membangunkan saya ketika saya telah tertidur dan masih menggenggamnya, hehehe... atau mungkin saya juga telah terbawa pada kenangan masa kanak-kanak saya, entahlah. Overall, buku ini memang bagus dan memikat.

Laskar pelangi bercerita tentang petualangan sebelas anak miskin dari pulau Belitong yang menuntut ilmu di sebuah sekolah dengan segala keterbatasannya mulai dari gedung sekolah yang sangat rawan roboh sampai kekhawatiran akan jumlah siswa yang akan masuk pada tiap ajaran barunya. Cerita mengenai potret pahit dunia pendidikan di sela-sela tingginya semangat, kesabaran dan perjuangan kesebelas tokoh utama buku ini: Syahdan, Lintang, Kucai, Samson, A Kiong, Sahara, Trapani, Harun, Mahar, Flo dan tentunya sang penulis cerita – Ikal untuk mengubah nasib mereka dengan bersekolah, ditengah-tengah himpitan dan tekanan untuk membantu orang tua bekerja di ladang atau menjadi buruh kasar di perusahaan timah.

Kesebelas anak tersebut hadir dengan karakter-karakter yang berbeda, beberapa diantaranya memang digambarkan dengan dominan seperti Lintang dan Mahar, Lintang jenius dalam bidang eksakta sedang Mahar ahli di bidang seni dan budaya. Lintang juga digambarkan sebagai sosok anak dengan semangat juang berapi-api, yang rela menempuh perjalanan sejauh 80 km pergi pulang demi memuaskan dahaganya akan ilmu pengetahuan.

Novel Laskar pelangi sarat dengan pesan moral, nuansa humaniora, dan begitu menyerang titik sadar para pembacanya. Adakala kita dibawa akan kocaknya interaksi para tokoh dan secara tiba-tiba disadarkan akan indahnya nikmat tuhan yang sudah kita rasakan. Novel ini mengajarkan kita untuk tidak bersikap sombong, selalu bersyukur dan bagaimana memelihara motivasi untuk terus semangat dan pantang menyerah.

Penggambaran latar novel ini pun begitu detail, mulai keadaan sekolah yang mereka tempati sampai kondisi pulau belitong yang terletak di timur sumatera. Mungkin ini dipengaruhi oleh penulisnya yang juga tokoh dalam novel ini dan merupakan penjelmaan dari kenangan masa kecil Andrea. Andrea Hirata juga begitu baik dalam penuturan analogi-analogi di setiap penggambaran perasaan tokoh-tokoh di novel ini. Dalam Novel ini diceritakan pula mengenai sebuah pohon. Filicium, sebuah pohon yang menjadi markas anak-anak laskar pelangi.

Kisah dalam novel ini ditutup dengan cerita-cerita anak-anak laskar pelangi 12 tahun kemudian, dan inilah yang juga cukup menarik. Dua belas tahun kemudian ikal melihat perubahan nasib teman-temannya yang sungguh diluar dugaan. Anak-anak yang pintar dan penuh semangat juang akhirnya juga tidak mampu mengalahkan nasib. Bisa saja nasib adalah perwujudan dari ketidakperdulian pemerintah akan potensi anak bangsa yang dimilikinya. Misalnya saja Lintang, sang jenius yang akhirnya dengan terpaksa harus menjadi supir tronton untuk menggantikan ayahnya sebagai tulang punggung keluarga.

Ada sebuah kalimat Lintang yang membuat saya sebagai pembaca menangis dan mengucap syukur, kalimat yang disampaikannya kepada Ikal. "jangan sedih kal, paling tidak aku telah memenuhi harapan ayahku agar tidak jadi nelayan..." (bab 32 AGNOSTIK, hal. 472). Apa yang bisa saya tangkap dari sebuah jawaban pendek itu?. Bayangkan, supir tronton dianalogikan sebagai kondisi yang lebih baik dari seorang nelayan. Jika itu dibandingkan dengan potensi yang dimiliki sangatlah menyedihkan, terlebih itu dipenuhi sebagai wujud pemenuhan harapan dari doa seorang ayah. Bagi ikal sendiri, kalimat itu semakin menghancurkan hatinya, kecewa, marah pada kenyataan begitu banyak anak-anak pintar yang akhirnya harus berhenti sekolah karena alasan ekonomi. Ia mengutuki orang-orang bodoh yang sok dan menyombongkan diri dan anak-anak kaya yang menyia-nyiakan pendidikan.

Untuk anda-anda yang ingin bernostalgia dengan kenangan masa kecil bersama kawan, menghargai sebuah kenangan, cerita masa lalu dan indahnya sebuah semangat perjuangan hidup, novel ini jelas sangat baik, novel ini juga baik untuk anak-anak muda yang hadir dalam keterbatasannya serta sebagai cermin yang bagus untuk anak-anak muda penuh kesombongan. Dan saya rasa buku ini juga bagus untuk para orang tua agar mampu mengarahkan anak-anaknya serta dapat menjadi pegangan untuk memelihara motivasi anak.

Karenanya lewat novel ini sudahkah kita bercermin, mengukur diri dan bersyukur??.