Tuesday, March 18, 2008

Memaknai Makna Priyayi


Berasal dari keluarga buruh tani, Soedarsono, oleh orang-tua dan sanak saudaranya diharapkan dapat menjadi "sang pemula" untuk membangun dinasti keluarga priyayi kecil. Berkat dorongan Asisten Wedana Ndoro Seten, ia bisa sekolah dan kemudian menjadi guru desa. Dari sinilah ia memasuki dunia elite birokrasi sebagai priyayi pangreh praja. Ketiga anaknya, melewati zaman Belanda dan zaman Jepang, tumbuh sebagai guru, opsir Peta, dan istri asisten wedana. Cita-cita keluarganya berhasil.

Benarkah? Lalu apakah sesungguhnya ”priyayi” itu? Status kelas? Pandangan dunia kelas menengah elite birokrasi? Sekadar gaya hidup? Atau kesemuanya?. Cucu-cucu Soedarsono sendiri kemudian hidup sebagai anak zaman mereka: menjadi anak kelas menengah birokrat yang manja, idealis kiri yang terlibat gestapu, dan entah apa lagi. Justru Lantip –anak jadah dari keponakan jauh Soedarsono– yang tampil sebagai hero. Dialah yang, dengan caranya sendiri, menunjukkan makna ”priyayi” dan ”kepriyayian” itu.
(Diambil dari sampul belakang novel “Para Priyayi: Sebuah Novel”, karya Umar Kayam)

Awalnya nama Umar Kayam-lah yang membuat saya tertarik untuk membeli novel ini. Umar Kayam, adalah seorang sosiolog, novelis, cerpenis, dan budayawan yang sudah saya kenal kualitasnya. Seperti pada kutipan pada sampul di belakang novel, Umar Kayam bercerita mengenai kehidupan sang tokoh yang menjadi dasar cerita "Soedarsono", seorang anak dari keluarga buruh tani yang oleh keluarganya diharapkan menjadi pemula dalam membangun dinasti priyayi kecil.

Novel ini melewati berbagai macam latar waktu, mulai zaman belanda, jepang, kemerdekaan, gestapu sampai dengan akhir tahun 60-an. Berlatar tempat di daerah jawa seperti Wanagalih (dipinggir kota Ngawi), Solo, Wonogori, Yogya sampai Istana Mangkunegaran. Dalam bercerita, Umar Kayam membagi novel ini menurut tokoh-tokohnya. Dan ini yang unik, karena pembagian bab yang menurut pada tokoh-tokohnya, namun Umar Kayam selalu berada sebagai orang pertama, meski begitu novel ini tetap menjadi bagian yang utuh yang menjadi satu kesatuan cerita. Gaya bahasa yang digunakan juga begitu ringan, simple, sederhana dan sangat mengalir. Ini sangat menunjang gaya bertutur Umar Kayam sebagai orang pertama pada tiap-tipap bab-nya, karenanya sebagai pembaca saya merasa terekrut dalam setiap paparan, cerita dan konflik di dalamnya.

Soedarsono yang berkat dorongan Asisten Wedana Ndoro Seten akhirnya bisa sekolah dan menjadi guru desa. Dari sinilah ia memasuki dunia elite birokrasi sebagai priyayi pangreh praja. Dalam prosesnya ia akhirnya mempunyai tiga orang anak, Noegroho, Hardojo, dan Soemini yang kemudian turun pada generasi kedua, Tomi, Mary, Harimurti, Sumi, beserta Lantip [anak dari keponakan Sastrodarsono yang bernama Soenandar, yang
kemudian menjadi cucu angkat Sastrodarsono].

Pada akhirnya seiring perkembangan jaman anak-anak dan cucu-cucu Soedarsono berjalan mengikuti perkembangan pada jaman mereka sendiri-sendiri, justru Lantip-lah yang akhirnya memberikan makna priyayi itu sendiri. Lewat tokoh Lantip, Umar kayam ingin memberikan makna arti priyayi sesungguhnya. Priyayi bukanlah karena kedudukan dan kekayaannya, karena banyak juga para priyayi (dalam kontek sekarang kita bisa membacanya pejabat/penguasa) yang justru tidak "mriyayeni". Priyayi adalah mengenai sikap, bagaimana bersikap arif, rendah diri, peduli, setia dan mengayomi, sifat itulah yang tercermin dalam diri Lantip.

“Kalau menurut kamu, apa arti kata priyayi itu, Tip?”
“Sesungguhnya saya tidak pernah tahu, Pakde. Kata itu tidak terlalu penting bagi saya.”

(dikutip dari dialog antara Lantip dan Pak Noeg).

No comments: